Mom #partOne
BUNDA, UMI, IBU #part1
Ceritanya gini, kemarin ahad pulang ke Bogor, sebenarnya karena ada acara nikahan dan silaturahim rutin ke orang tua (umi-ayah). Ahad pagi, seperti biasa kalau lagi di Bogor, saya dan mas nyempetin untuk datang ke Majlis Al Ihya untuk ngaji Kuliah Subuh, untuk men-charge lagi hati dan ilmu. Setelah larut sama kesibukan di rumah, meski hanya Ibu Rumah Tangga dan suami yang sibuk kerja menjemput rizki, rasanya ga bisa di tolak lagi saat jiwa butuh 'makan dan minum', satu-satunya cara ya duduk di majlis ilmu. Berkumpul dengan orang-orang baik atau mau jadi baik, silaturahim juga sama teman-teman dan mendengarkan kajian adalah hal indah lain yang bisa kita nikmati looooohhh...
Salah satu isi pengajiannya adalah kutipan hadits Rasul tentang orang tua, kitab yang dibahas pertama adalah Tafsir Ibn Abbas, tapi karena saya datang terlambat jadi ga begitu tau lagi bahas apa di depannya. Hanya waktu saya datang sedang membahas tentang orang tua itu. Kurang lebih inti haditsnya begini:
Ada seorang sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, siapakan di antara manusia yang dapat aku jadikan sebagai sahabat karibku?"
Rasulullah SAW menjawab : "Ibumu".
Sahabat bertanya lagi : "Lalu siapa lagi ya Rasul?"
Rasulullah SAW menjawab lagi : "Ibumu".
Sabahat masih penasaran rupanya, dan bertanya lagi : "Lalu siapa lagi?"
Rasulullah SAW menjawab dengan jawaban yang sama : "Ibumu".
Sahabat belum bosan dan menanyakan lagi : "Lalu siapa lagi wahai Rasul?"
Rasulullah SAW menjawab : "Lalu ayahmu".
Dari kutipan hadits di atas, saya sempat tertegun. Alangkah indahnya ketika orang tua kita bisa dijadikan sahabat karib. Sahabat karib artinya sahabat yang paling baik, sahabat bertukar asa, penegur saat salah, penyemangat saat susah, penggembira saat bahagia.
Sampai tiga kali disebut nama ibu, artinya ibu adalah 3x lebih baik dari orang-orang di luar keluarga yang kita sebut sebagai sahabat. Saya punya umi, yang akhirnya saya sadari, umi saya adalah sahabat saya. Sahabat terbaik saya. Umi bagi saya bukan hanya orang tua biasa, tidak hanya menyiapkan hal hal bersifat domestik dalam rumah tangga.
Ketika saya remaja, saya benci sama umi. Umi saya galak, banyak peraturan, kalau peraturan di langgar pasti marah (meski bukan tipe pembentak), saya ga boleh main ke rumah teman, kalaupun boleh itu jaraaaaaangggg sekali, sms saya suka dibaca malahan, telepon? uuuhhhh jangan harap ya yang laki-laki bisa telpon saya sembarangan. Tapi saya tahu, akhirnya maksud dari sikap umi. Umi hanya menjaga saya. Menjaga saya dan adik-adik saya yang artinya menjaga amanah Allah yang paling mahal, menjaga anak perempuan sama dengan menjaga kertas putih, menjaga permata.
Beranjak dewasa umi dan saya berubah jadi teman. Umi menerangkan kenapa sikap umi dulu seperti itu. Umi percaya kepada saya, hanya umi tidak percaya dengan zaman. Tapi umi takut, sedikit lupa, sedikit saja, saya dan adik-adik terjerembap di lembah hina dan dosa. Umi ga mau itu. Umi bilang, umi ga sanggup ketika di hadapan Allah umi disalahkan karena tidak hati -hati terhadap ketiga permatanya di dunia. Umi ga sanggup ketika kertas putihnya tercoret spidol hitam, merah, biru yang sulit dihapus. Umi ga sanggup permata mahalnya dicuri, atau bahkan hancur. Umi bilang, kami bertiga adalah hartanya dunia dan akhirat. Harta dunia ketika kami tumbuh besar pelan-pelan, melihat kelucuan, tingkah aneh, canda, tawa, bahkan bertengkar dari kami. Harta akhirat ketika kami menjadi salah satu jalan umi bisa tenang di alam keabadian, kami adalah satu dari 3 hal yang tidak terputus meski sudah di alam barzah. Yaitu doa anak anak yang shaleh. Umi ingin, ayah juga tentunya kami menjadi harta dunia dan akhiratnya.
Umi bilang dari dahulu saya kecil, sampai sekarang saya juga sudah jadi umi-umi alias ibu-ibu, bahwa keinginan umi hanya agar anak-anaknya menjadi anak yang shaleh. Titik gede, segede kelapa. Ga pernah saya dengar umi minta saya jadi orang kaya, orang pintar, dan sebagainya. Karena umi percaya, orang shaleh artinya orang yang dicinta Allah, tidak akan dibiarkan kelaparan, tidak akan tertutup pintu rizkinya, pasti dibuka jalan yang paling ma'ruf. Apa saya sudah jadi anak shaleh? belum rasanya, masih jauh :( tapi menuju, bukan saya yang menilai, biar Allah saja, tapi yang pasti yuk jalani prosesnya.
Kalau bukan karena do'a umi, saya pasti tidak bisa lulus kuliah
Kalau bukan karena restu umi, saya tidak akan punya suami yang baik seperti si mas
Kalau bukan hantaran tangis tahajud umi, saya pasti susah terus hidupnya
Kalau bukan karena ridho umi, saya pasti akan.......??? ahhh pokoknya ga enak aja
Dulu umi saya benci, karena saya masih sangat muda dan egois untuk faham betapa beratnya menjadi orang tua dari anak gadis untuk zaman ini.
Dulu umi saya anggap jahat, karena sering melarang saya, yang padahal melindungi saya dari zaman yang semakin gila ini.
Dulu umi saya anggap kejam, karena jarang membelikan saya hal-hal lucu yang teman-teman saya punya saat itu, padahal umi mendidik saya agar menghargai rizki, uang dan hidup tidak manja serta berharga.
Saya dulu penuh curiga, banyak su'udzhonnya sama umi, tapi di mulai dari saat saya hampir lulus kuliah, saya sadar. Umi adalah segalanya. Dan pastinya, umi tidak jahat sama sekali.
Kalau bukan karena umi, saya pasti tidak ada. Umi melahirkan saya, menyusui saya sampai 2 tahun, mendidik saya, membisikkan saya do'a-do'a, menumbuhkan saya di lingkungan yang baik.
Umi adalah pasangan terindah dan tercantik untuk ayah. Ayah adalah ladang pahala untuk umi.
Psssttttt... saya pernah dengar pengakuan dari ayah, bahwa ayah sudah jatuh hati ke umi sejak pertama dikenalkan lewat proses ta'aruf. Saya juga pernah dengar langsung dari ayah, kalau ayah meridhoi umi, segala sesuatunya hal yang umi kerjakan karena umi tidak pernah membuat ayah saya marah, ayah ridho sama umi. Ayah ingin agar umi bisa masuk ke JannahNya lewat pintu mana saja. Ayah berdoa untuk umi.
Saya, Afiah dan Inayah berdoa untuk umi dan ayah, agar kelak kita semua berjumpa di hari yang paling istimewa di tempat yang paling abadi. Tentu saja umi dan ayah sudah punya tabungan, si cantik adikku Salamah kelak akan menyambut.
- If i could turn back time rewind, if i could make it undone, i swear that i would make it up to you (Maher Zain) -
5 Januari 2013
Komentar
Posting Komentar