Ujian Tengah Semester Najma & Ludi
Assalamu'alaikum...
Akhir bulan ini Najma Ludi sedang melaksanakan ujian tengah semester. Najma yang sudah 4 tahun jadi anak SD sangat terbiasa dengan yang namanya ujian. Sedangkan Ludi, apa itu ujian? Tentu saja dia terlihat biasa aja. Tapi syukurlah Ludi tau soal nilai, jadi dia mulai terbiasa melihat nilai setelah mengerjakan tugas sekolah via online. Dia tau ada sebuah konsekuensi dari 'klik-klik'nya jari Ludi saat mengerjakan tugas, dan syukurlah dia suka jika melihat skor yang keluar itu di atas 80. Entah darimana ajarannya, atau dapat masukan darimana dia. Bahwa nilai bagus itu di atas 85. Di bawah 85 artinya tidak bagus.
Pemahaman soal nilai ini buat saya adalah bahasan baru untuk Ludi yang baru saja jadi anak SD. Sebab saat TK, di sekolahnya anak-anak tidak mendapat skor berupa angka, tetapi berupa cap bintang 3! 😆 Jadi dia tidak terpaku pada angka saat penilaian, dia hanya tau tugas itu dikerjakan, nilai atau cap nomor sekian. Mungkin itu yang membuat Ludi masih tampak tidak terlalu serius sekolah di bangku SD. Masih anak-anak yang hobby nya main saja.
Dalam diskusi ringan dengan Najma Ludi , nilai atau skor ini adalah pembahasan yang berulang kami bahas. Agar dimasa depan tidak terjadi miss-konsepsi. Bahwa nilai adalah angka yang muncul setelah kita mengerjakan tugas kita. Disitu terlihat ketelitian, kesungguhan memahami konsep dan hal teknis soal penilaian lainnya. Meski setelah nilai keluar, belajar tidak berhenti sampai disitu saja. Bahkan jika nilai sudah adapun, bahasannya masih bisa didiskusikan. Jadi nilai hanya bagian kecil dari proses belajar mengajar. Sederhananya yaa hanya untuk alat ukur pemahaman materi pada saat itu.
Saya termasuk orang tua yang bersyukur karena rangking sudah tidak dipakai lagi saat ini. Syukurlah pendidik sekarang memahami bahwa anak didiknya adalah individu yang unik. Ahli sudah menemukan ada 9 kecerdasan pada manusia, sedangkan pelajaran sekolah yang cenderung teoritis sudah pasti tidak dapat memfasilitasi 9 kecerdasan tersebut. Artinya saat rangking dihapus, semua anak dan bahkan semua guru harusnya sadar penuh bahwa anak didiknya itu semua pintar. Tanpa terkecuali.
Sedihnya seorang anak yang tidak masuk rangking terbaik, jika tidak dikelilingi oleh support system yang baik akan membuat anak kehilangan konsep diri yang benar atas dirinya. Mengerikannya jika nantinya dia hanya tau bahwa seseorang berharga karena nilai sekolah saja, maka dia akan melakukan apa saja untuk mendapat nilai baik, meskipun dengan cara curang atau belajar sambil stress luar biasa.
Bebasnya anak-anak kita dari rangking akan membuat mereka merasa tetap aman dan nyaman saat belajar di sekolah, tanpa merasa dirinya tidak pintar. Dengan kenyamanan dan lingkungan yang supportif saya percaya anak akan mengeluarkan potensi terbaiknya. Cukuplah kita memahami bahwa ikan yang berenang tidak perlu harus bisa terbang bukan? Ikan tetap hebat meski kebisaannya hanya berenang.
Terkadang PR besar pendidikan bukanlah anaknya, melainkan dari kita, dari orang dewasa yang masih terpaku pada konsep lama soal pendidikan ini. Jadi kita masih menuntut anak-anak melakukan hal yang sama, dengan pendekatan yang kaku untuk belajar. Meskipun tidak salah sepenuhnya pola didik saat dulu, sebab sayapun 'produk jadul' yang bersyukur mampu melewati itu semua dan merasakan benefit dari pendidikam tersebut. Tapi saat saya sadar dunia berubah, kesempatan tidak lagi sama, kebutuhan dunia akan hal-hal yang praktis dan percepatan yang luar biasa ini tidak bisa dipenuhi oleh gaya didik yang stagnan.
Saya percaya, anak-anak kitalah agen kebaikan bagi dunia di masa depan. Segala hal yang berubah namun mereka mampu beradaptasi dengan baik (dengan pendampingan kita , orang tua pastinya) termasuk mereka yang sekecil itu sudah mampu mengoperasikan komputer dan benda Artificial Intelligence lainnya adalah sinyal bahwa benar mereka adalah generasi masa depan.
Meski kurikulum, metode, alat ukur dari pendidikan ini mampu berubah kapan saja, ada satu yang saya ingin tetap pada tempatnya. Soal tauhid, akhlak dan praktik ibadah. Bagaimanapun hebatnya masa depan, dan kemungkinan mereka hidup berdampingan dengan robot canggih. Mereka adalah manusia alias makhluk dari Zat Yang Maha Segalanya. Tidak tau apa yang terjadi atau apa yang diharapkan dari generasi yang dengan sengaja melupakan Rabbnya sendiri.
Kita bisa jika sama-sama memperbaiki metode dan menjadi seperti anak-anak kita yang saat ini sedang belajar. Yaitu kita harus tetap belajar, karena meski sudah jadi orang tua, kita ini adalah murid dari banyak guru kehidupan yang ujung pendidikannya adalah kebijaksanaan ❤
Komentar
Posting Komentar