Masuk Rumah Sakit Saat Pandemi Covid-19
Assalamu'alaikum
Horror ga tuh judulnya? Siapa yang mau hayo? Ga ada sih, yakin saya. Tapi kalau memang kenyataan harus berangkat karena emang harus, bagaimana coba? Tapi hampir semua ketakutan itu sebenarnya tidak nyata, dia adalah hasil dari pemikiran yang dibuat, parahnya jika tidak mendapat data dan fakta untuk jadi bahan komparasi, bisa jadi ke-horror-an bisa jadi nyata, parahnya bisa mendorong kepada keputusan tidak tepat. Bingung ga? Intinya kalau sampai ketakutan itu menguasai, maka selanjutnya pasti tidak tepat keputusan yang diambil :)
Orang yang paling saya kasihi sudah sakit sejak lama. Bukan sakit sembarangan. Ini berhubungan dengan organ tubuh inti yang fungsinya primer. Vonis dari yang mulai "insyAllah bisa sembuh" sampai "baiklah, u have only 1 years left" sudah pernah kami dengar. Tapi kan umur kuasa Allah dan kita harus mempercayai teguh demikian. Kebayang kan separah apa sih, sampai vonis kedua itu harus meluncur dari mulut dokter spesialis yang gelarnya sudah berderet-deret? :) :)
To make story short, saya tidak bahasa sakit apanya. Saya cuma mau share soal bagaimana keadaan jika masuk rumah sakit saat pandemi ini.
Dua kali masuk Rumah Sakit saat pandemi ini, di dua rumah sakit berbeda. Sebab penuhnya ruangan, maka kami terpaksa berpindah dengan kendali dokter spesialis yang sama. Yang pasti, tidak akan membawa orang ke rumah sakit apalagi harus sampai dirawat jika tidak ada urgensinya (mana ada yang mau di opname kan?
Jadi saat masuk IGD atau UGD, kedua rumah sakit hanya memperkenankan 1 orang penunggu. Tidak boleh lebih. Dan saat pertolongan pertama diberikan, ada sedikit wawancara soal gejala apa yang pasien rasa. Berhubung saat masuk UGD pasien tidak sadarkan diri, maka wawancara dituju pada pengantar. Tentu saja pengantar sudah dicek suhu, harus memakai masker dengan benar dan diberikan sticker di baju (penanda saja).
Ada protokol standart baru saat pandemi, yaitu diberikannya testing Covid-19 menggunakan Rapid Test. Yang meski kontroversial, nyatanya memang sudah jadi SOP di rumah sakit. Selain Rapid, dilakukan juga rontgen paru saat itu juga. Jadi semua test dilakukan di ruang UGD/ IGD dan pasien menunggu di triage merah. Suasananya? Tegang sudah pasti. Mulut tidak henti berdoa dan bersholawat. Waspada juga pasti. Secara sadar tidak menyentuh benda apapun kecuali langsung cuci tangan.
Sekitar 4 jam menunggu hasil Rapid dan Rontgen Paru, jika hasilnya baik dan mendapat izin dari Dokter Satgas Covid-19 (Setiap Rumah Sakit memiliki Satuan Tugas yang berisikan dokter spesialis Paru yang siap dihubungi kapan saja via telepon untuk meneruskan pembacaan dan keputusan hasil Rapid dan Rontgen), maka pasien diperkenankan masuk ke kamar rawat atau ICU atau juga HCU sesuai kebutuhan. Karena jika hasilnya positive Covid-19 sudah pasti treatment akan berbeda, pemindahan rumah sakit juga menjadi sangat mungkin. Terlebih rumah sakit yang kami datangi, konon meng-claim tidak menerima pasien Covid.
Alhamdulillah, atas izin Allah dua kali tersebut menunjukan hasil negative Covid-19 dan hanya dirawat dengan status pasien biasa dengan penyakit yang memang sedari dulu dipunya. Bisa alhamdulillah dikondisi kaya gini, anugerah loh guys, karena tegang juga deg-degannya ga kebayar rasanya. Masih bisa merawat langsung tanpa batas sekat ruang isolasi, mahal sekali. Kami seperti mendapat rizki yang mahal dan banyak hanya dengan kenyataan ini, se-simple bisa merawat kesayangan kami.
Diruang rawat sudah pasti hanya ada 1 penunggu saja. Jika dilakukan pergantian perawat (dari keluarga) maka dilakukan dengan cepat, kalau tidak bisa dijemput satpam :). Pasien dan penunggu menggunakan masker. Jika tidak sedang menggunakan oksigen, maka masker harus digunakan, meskipun pada pasien, maka dilakukan pemberian masker setiap pergantian shift suster dan bruder.
Ternyata tidak se-horror yang kami duga. Melihat perawat sejak dari UGD/ IGD lalu di HCU sampai kamar rawat saya luar biasa salut dan angkat penghargaan luar biasa. Pandemi ini praktis menyerang mental mereka juga, dimana virus tidak nampak, segala kemungkinan bisa terjadi, baik atau buruk warnanya sama, abu-abu. Tapi mereka tetap bekerja memberi pelayanan sebaik yang mereka bisa. Allah balas sempurna ya :)
Ada kejadian sedih sebenarnya. Saat kesayangan kami ada di ruang HCU dalam 2 hari, 2 orang wafat. Sebab penyakitnya dan kondisi menurun. Yang satu karena ada infeksi pasca operasi tumor otak, tidak sadar selama 2 minggu. Dan yang satu lagi, Jantungnya tidak lagi sanggup. Nah kaya gini juga cukup menguras emosi, karena kami sebagai teman saat itu bisa merasakan kesedihannya. Namun kepasrahan adalah jalan tengah, saya saksikan keluarga pasrah dan menerima dengan lapang dada. Allah jumpakan kita nanti ya, semoga sabar dan ikhlasnya menjadi jalan toll menuju keridhoanNya :)
Sepulang dari rumah sakit, kami semua tetap menjaga dengan menjaga asupan gizi dan minum suplemen (kalau saya minum madu dan buah-buahan), tetap berjemur serta berolahraga, menjaga mental dengan menjauhi stress dengan menerima kenyataan memang virus ini ada, menggunakan masker dengan benar dan tidak pergi ke tempat yang tidak ada kepentingannya. Yang mana itu semua adalah protokol kesehatan kan?
Semoga kita semua terhindar dari penyakit berbahaya, namun jika ditakdirkan memilikinya, semoga kita bersabar dan ridha terhadap sakitnya. Karena syukur dan sabar adalah pijakan utama apapun masalahnya. Menghadapi pandemi ini dengan nalar dan rasa, tidak main tuduh namun tetap waspada. Kita beriringan, dan itu satu-satunya jalan :)
Komentar
Posting Komentar