Pelajaran ahad yang berharga
CINTA DUNIA AKHIRAT
Pagi cerah ahad kemarin di sebuah Majlis Ilmu yang selalu berhasil membuat saya merindu. Suasana penuh syahdu, bertemu dengan orang-orang yang juga sedang merindui kalam-kalam Illahi serta ucapan dari sang Kekasih Rasulullah SAW melalui hadis yang dibacakan, serta nasihat-nasihat menyejukkan. Berdoa bersama, ber-riyadhoh memohon agar hati senantiasa dituntun menuju jalan yang selamat baik di dunia maupun akhirat. Berjama'ah. Mengajarkan hati agar mau mengingat Allah, menjauhkan hal-hal yang buruk, serta menempatkan diri di tempat terendah, bermunajat dan mensyukuri apa-apa yang telah hadir di kehidupan ini. Majlis ini selalu memberi kesan ingin kembali, lagi dan lagi.
Di majlis ini juga saya belajar banyak hal dari seseorang-yang-sebenarnya-tidak-terlalu-saya-kenal. Sebut saja Ayah. Ia tentu bukan ayah kandung saya, ia adalah ayah dari sahabat kental saya. Ia adalah orang asli Madura. Sudah tentu, menyebut kata Madura pasti sudah bisa tergambar betapa keras watak penduduknya yang katanya disebabkan wilayahnya yang dekat dengan pantai. Namun bukan karena pantai saya rasa ia memiliki watak yang keras dan teguh pendirian. Pernah ia berujar bahwa didikan orang tuanyalah yang membuat wataknya menjadi keras. Apalagi soal agama. Pernah pula ia berkisah bahwa ketika usia tepat 7, bagaimana ia dan saudara-saudaranya diwajibkan untuk mendirikan sholat lima waktu, dan mengaji sehabis maghrib di surau dekat rumahnya. Jangan sekali-kali melewatkan shalat atau mengaji jika tidak mau dipukul oleh rotan. Rotan. Iya rotan. Kayu keras yang biasa digunakan untuk bahan baku meubeul. Biru-biru, merah-merah di badan sudah pasti jika melanggar. Namun, itulah didikan yang ia terima ketika kecilnya. Hasilnya menurut saya tidak bisa lagi ditolak. Karena sampai saat ini, saya kebetulan juga ditakdirkan selalu tinggal berdekatan dengan keluarganya. Baik saat masih tinggal di lingkungan pesantren maupun saat sudah pindah ke komplek perumahan, kami seakan-akan menjadi tetangga tak terpisahkan. Karena selalu beriringan bersama. Ditambah lagi saya seumuran dengan anak gadis pertamanya, yang sampai saat ini menjadi sahabat kesayangan saya. Adik saya, seumuran dengan anak laki-laki keduanya. Pun mereka menjadi sahabat. Adik saya yang bungsu, umurnya hanya terpaut 1 tahun dengan umur anak bungsunya. Begitulah kami selalu berdampingan. Hasil didikan orang tuanya yang pernah di masa lalu ia kisahkan bagi saya tertuang dalam kehidupan sehari-harinya. Saya selalu saksikan Ayah berjalan kaki ke Masjid setiap hari, setiap waktu sholat jika tidak sedang berangkat ke kantor. Jika panas dan hujan mengenakan payung, mengunakan gamis putih, berjalan kaki. Kadang sendirian, kadang ditemani anak lelakinya. Kecintaan pada shalat dan surau yang tumbuh karena 'dipaksa' oleh orang tuanya, menghasilkan seorang pria dewasa yang selalu tertambat pada Masjid di hari tuanya. Subhanallah.
Saya mengagumi Ayah, selain tentu saja saya juga sangat mengagumi ayah saya sendiri. Yang membuat saya kagum adalah... Di pertengahan 2002 istri tercintanya wafat meninggalkan dunia fana. Akibat sakit yang mendadak sebagai jalan ajalnya. Ia tampak tegar, juga membesarkan hati ketiga permata hatinya. Anak pertamanya baru saja lulus SMP. Sebut saja Ibu, almarhum istri Ayah. Ibu dulu adalah seorang guru yang cantik dan periang. Pandai memasak baik kue maupun penganan sehari-hari. Olahan makanannya tidak kalah enak jika dibanding olahan masakan di restoran. Ibu pandai membuat kue kering, donat dan sebagainya. Jika membuat makanan, saya dan adik-adik pasti dapat jatah juga. Sering juga saya ditelpon untuk datang ke rumahnya jika Ibu sedang membuat kue, supaya saya juga belajar katanya. Selain pandai memasak dan mem-baking, Ibu juga pandai menjahit. Ada dua mesin jahit di rumahnya. Baju anak-anaknya pun Ibu yang menjahitkan. Ahhhh Ibu cantik, hidungnya mancung, matanya besar. Persis orang India, tidaklah heran anak-anaknya pun cantik dan tampan.
Saya mengagumi Ayah, karena selepas wafatnya Ibu, Ayah tetap sendiri. Mendidik ketiga permata hatinya seorang diri. Tidak memilih untuk menikah lagi. Padahal Ayah masih tampan, bahkan sampai saat ini. Sehat pula dan tentunya punya kedudukan yang baik di kantornya. Dulu kalau ditanya tetangga kenapa Ayah tidak nikah lagi, Ayah hanya tersenyum dan bilang, "Ga bakal ada yang seperti Ibu lagi". Selalu jawaban itu yang berhasil saya dengar. Bahkan jika ada yang iseng menanyai ketiga anaknya, mereka kompak menjawab, "Ayah boleh kok nikah lagi. Tapi ga akan ada yang seperti Ibu lagi". Sejak dahulu, sejak pertengahan 2002, Ayah dan anak-anaknya setia mengelilingi makam Ibu untuk mengirim Alfatihah di depan pusara, berziarah. Yang sesungguhnya berziarah hanyalah satu cara untuk mengingatkan kita yang masih hidup tentang kematian. Mendokan langsung di hadapan makam, serta tak lupa membersihkan makam dari dedaunan kering yang jatuh. Jangan heran jika makam berubin putih itu senatiasa bersih, karena setidaknya setiap ahad, setiap minggu, setiap tahun, selalu ada anak-anaknya serta suaminya mengelilingi makam untuk sekadar mendoakan dan membersihkan 'tempat tidur' Ibu.
Bagaimana saya tahu? Seperti yang sudah saya katakan. Bahwa saya selalu ditakdirkan bersama dengan keluarga Ayah. Anak Ayah sahabat kesayangan saya. Kami tidak pernah berpisah, merenda masa remaja bersama, saling mengingatkan, berkisah roman ala remaja juga bersama. Maka di saat sahabat saya kehilangan Ibunya, maka saya sudah pasti ingin disampingnya, menghiburnya, meski pada kenyataannya saya dan Umi sayalah yang justru sering menangis jika melihat makam Ibunya. Ibu sahabat Umi, saya sahabat Anaknya, insya Allah akan begitu selamanya. Saya, Umi, Ayah saya dan Adik-adik juga akhirnya sering bersama 'menengok' makam Ibu setiap ahad. Kecuali sekarang, karena saya tinggal jauh dari Bogor. Apalagi ketika makam anak kami tercinta Mas Isan dimakamkan di komplek pemakaman yang sama, hanya berjarak 2 meter saja dengan makam Ibu. Setiap ke Bogor sehabis pengajian, saya dan mas mampir 'menengok' juga makam sang anak tercinta. Yang akhirnya juga saya saksikan Ayah tidak berubah. Mengajak anak-anaknya ke makam Ibu, berdoa bersama, bergantian, digilir antar anak yang bertugas sebagai pemimpin doa. Apalagi sekarang sudah bertambah pula keluarga mereka dengan hadirnya menantu dan kedua cucu yang cantik dan sholihah.
Ayah sebenarnya bukan hanya melakukan rutinitas mengunjungi makan sang istri tercinta. Lebih dari itu, Ayah mengajarkan kesetiaan kepada anak-anaknya. Bahwa Ayah mengajarkan setia dengan Ibu dan ingin bersama dengan Ibu di dunia dan akhiratnya. Dengan pertolongan Allah, tentu dengan ketaatan dan pemahaman yang baik, bahkan Ayah bisa menundukkan kebutuhan syahwatnya. Tentu karena pertolongan Allah, nafsu hanya akan tunduk karena takut pada Allah. Saya 11 tahun menyaksikan, setiap ahad, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, selama 11 tahun. Ayah menyetiai Ibu, mendoakan Ibu, senatiasa mengingatkan kebaikan Ibu kepada anak-anaknya, menantunya bahkan tetangganya. Ayah hanya ingin mimpi yang sederhana, berkumpul bersama bidadari tercantiknya, Ibu, nanti di Surga. Dan saya harus mengaminkan keinginannya. Setia. Dan saya selalu percaya, setia bukan hanya di manisnya bibir semata. Setia bukan saat senang tentunya. Setia adalah karunia yang Allah berikan lewat berusaha menjaga keta'atan, setia adalah sebuah perjuangan dan jalannya adalah ta'at. Terima kasih Ayah atas pelajarannya yang begitu berharga.
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
“Dan orang-orang yang beriman, sedangkan anak keturunan mereka mengikutinya dengan keimanan, maka kami susulkan anak keturuan itu kepada mereka. Dan kami tidak mengurangi sedikit pun dari amalan mereka.” (ath-Thur: 21)
Komentar
Posting Komentar