Wajah Surga
Di setiap saya datang ke kota nan cantik ini, sudah pasti kalbu sedang merindu. Rindu menggebu-gebu, terhadap seseorang cantik yang juga selalu menunggu. Umi. Setiap waktu pulang ke Bogor, saya selalu bahagia, senang tak terkira akan berjumpa dengan sosok yang begitu penuh cinta. Iya. Itu ibu saya, Umi saya menyebutnya.
Umi selalu menjadi orang pertama yang akan menolong saya, saat masih kecil maupun sudah besar bahkan saat ini, saat saya sudah punya mutiara saya sendiri bernama keluarga kecil yang sedang kami rintis menjadi keluarga bahagia. Seperti dulu, seperti saat saya kecil. Umi dan Ayah berhasil menjadikan saya tumbuh di tengah keluarga yang hangat penuh cinta, penuh optimis, penuh motivasi dan doa.
Umi tak pernah buruk dimata saya, kecuali saat itu kala masih remaja. Umi galak, pikir saya. Namun saat ini, saya sudah tahu dan paham semua maksud dari sikapnya. Semata melindungi gadis kecilnya, permata dunia akhiratnya, kami anak-anaknya. Umi sudah tua sekarang, tapi saya tahu tanggung jawabnya tidak berkurang. Menjadi seorang kepala keluarga disaat keterbatasan mendera. Namun, Umi selalu tampil mempesona dengan tangguh dan jiwa yang penuh dengan husnudzon kepadaNya.
Saya tahu dan ingin sedikit merasai beban yang dipikul Umi, namun pasti saya tak sanggung dan hebatnya Umi tak ingin membagi. Umi ingin saya menjadi istri dan ibu yang shalihah mengurus dengan baik suami dan anaknya. Karena kata Umi kelak, kebaikan seorang anak perempuan terhadap suami dan anak-anaknya juga akan bernilai sedekah dan kebaikan yang akan mengalir deras di alam selanjutnya.
Setiap saat pulang, pasti bertukar cerita. Saya selalu meminta nasihat atas apa yang sedang saya hadapi, dan nasihat Umi betul-betul terhujam di hati. Saya menjadi siap mengahadapi hari. Menjadi rasanya ingin menjadi seperti Umi, zuhud sekali. Dunianya hanya untuk menghantarkan diri dan keluarga menuju tempat abadi, bahkan rumahnya sudah diniatkan untuk pendidikan. Madrasah dan Taman Kanak Kanak. Ibaratnya malah, Umi menumpang didalamnya bersama ayah dan adik-adik padahal itu rumahnya sendiri. Saking inginnya, mengorbankan apa yang dibisa untuk perjuangan da'wah islam dimulai dari skala terkecil bernama pendidikan dini.
Umi penuh kasih, lewat mata syahdunya. Penuh cinta, lewat tangan yang sudah menua. Ahhhh... Umi tahukah engkau, begitu sempurna di mata kami, begitu cantik bahkan melebihi bidadari. Di mata ayah, umi lah sahabat sejati yang tak pernah sedetikpun mundur untuk sama-sama menghadapi dunia dan rintangannya. Menjadi kekasih hati dan peliput lara, persis seperti gambaran seorang Qurrota a'yun yang indah di pandang dan menyejukkan di hati.
Dahulu, kala masih remaja saya suka menghindar setiap Umi memberi saran. Maklum, gejolak anak muda yang ingin bebas. Namun sekarang, baru saja berapa hari tidak bersua, rasanya ingin mendengar pepatah darinya. Saat ini, setiap saya pulang ke rumah yang saya tempati. Setiap membelah tol Bogor menuju Jakarta, saya selalu ingin segera kembali lagi, bertemu lagi, bidadari terbaik yang pernah saya punya. Umi saya.
Tak bisa saya bayangkan bagaimana jika Umi tiada. Aaahhhhh... daripada berpikir yang tidak-tidak, saya lebih suka untuk mengambil ilmu dan hikmah sebanyak-banyaknya agar saya mendapatkan warisan yang paling berharga, bernama ilmu pengetahuan dan juga ilmu hikmah dalam menghadapi kehidupan, yang akan saya bagi juga untuk keturunan saya serta lingkungan sekitar saya.
Biarlah Mi, Allah yang akan membalas semua kebaikan Umi. Saya selalu berharap dan berdoa, juga Ayah dan adik-adik, bahwa Umi akan mendapat surga yang penuh kebahagiaan nan kekal abadi. Tiada kepura-puraan dan rasa was-was. Dan jika saya lihat wajah itu, wajah Umi, saya selalu bisa menatap surga disana. Surga dunia, yang cahayanya begitu hangat. Dari sana, dari wajah Umi saya.
- Who should i give my Love Too, my respect and My honours too, after Allah and Rasulullah? Come to You're Mother. Who next? you're Mother. Who next? you're Mother. And then you're Father.- ( Yusuf Islam)
Dahulu, kala masih remaja saya suka menghindar setiap Umi memberi saran. Maklum, gejolak anak muda yang ingin bebas. Namun sekarang, baru saja berapa hari tidak bersua, rasanya ingin mendengar pepatah darinya. Saat ini, setiap saya pulang ke rumah yang saya tempati. Setiap membelah tol Bogor menuju Jakarta, saya selalu ingin segera kembali lagi, bertemu lagi, bidadari terbaik yang pernah saya punya. Umi saya.
Tak bisa saya bayangkan bagaimana jika Umi tiada. Aaahhhhh... daripada berpikir yang tidak-tidak, saya lebih suka untuk mengambil ilmu dan hikmah sebanyak-banyaknya agar saya mendapatkan warisan yang paling berharga, bernama ilmu pengetahuan dan juga ilmu hikmah dalam menghadapi kehidupan, yang akan saya bagi juga untuk keturunan saya serta lingkungan sekitar saya.
Biarlah Mi, Allah yang akan membalas semua kebaikan Umi. Saya selalu berharap dan berdoa, juga Ayah dan adik-adik, bahwa Umi akan mendapat surga yang penuh kebahagiaan nan kekal abadi. Tiada kepura-puraan dan rasa was-was. Dan jika saya lihat wajah itu, wajah Umi, saya selalu bisa menatap surga disana. Surga dunia, yang cahayanya begitu hangat. Dari sana, dari wajah Umi saya.
- Who should i give my Love Too, my respect and My honours too, after Allah and Rasulullah? Come to You're Mother. Who next? you're Mother. Who next? you're Mother. And then you're Father.- ( Yusuf Islam)
Komentar
Posting Komentar