Melukis Jiwa

Assalamu'alaikum duniaaa...

Sebenarnya saya ini sedang sedih. Karena beberapa orang yang saya kenal, telah tuntas masa hidup di dunia. Tuntas perjalanan sebagai seorang hamba. Dan saya merasa mereka adalah orang-orang baik hatinya. Dengan kesederhanaan hidup dan polahnya. Semogaaa husnul khatimah. Saya berdoa agar ditempatkan di sisi yang paling mulia. Amiiin..

Akhirnya, sesaat setelah melakukan ta'ziah saya punya bahan untuk bermuhasabah. Bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah 'kesederhanaan'. Baik soal materi, tingkah laku maupun perasaan.

Orang yang baru saja wafat Jum'at lalu adalah besan ayan umi. Pria sederhana sekali. Yang menjadi hal utama bagi diri dan istrinya adalah pendidikan anak-anaknya. Berlanjut kepada pendidikan diniyyah lewat 'isi' di madrasah dekat rumah.

Rumahnya super sederhana. Sebagai pegawai PNS biasa. Istrinya membantu lewat usaha menjahit pakaian juga menjual masakan. Mama kami menyebutnya. Tapi, yang saya lihat adalah keluarga sederhana yang penuh kebahagiaan. Lewat candaan-candaan ringan lucu ceplas ceplos membuat siapapun yang bahkan baru kenal akan merasa nyaman. Terlepas dari, saya yakin setiap keluarga pasti memiliki ujian. 

Kesederhaan dari kedua orang tuanya, akhirnya meninggalkan lukisan jiwa di buah hatinya. Lukisan yang pada akhirnya terlihat lewat segala tingkah anak-anaknya.

Memang, kesederhanaan selalu tampil cantik paripurna. Dia sibuk mengisi kanvas jiwa dengan hal-hal yang penting dan urgent. Soal ilmu, pengetahuan, hikmah dan kerja keras. Bukan dengan hal-hal yang terlihat oleh mata.

Saya jadi sibuk melihat masa lalu saya. Bagaimana ayah dan umi melukis jiwa saya. Meskipun saya belum fasih melihat lukisan itu sendiri dan hanya mendengar secuil dari testimoni. Yang kadang saya anggap hanya sebagai bercandaan saja. 

Dulu saya dididik dengan keras dan susah. Di tengah jabatan ayah yang mapan, saya di paksa naik jemputan Bis kecil, uwel-uwelan dengan banyak anak dari kelas 1 sampai kelas 6. Kemudian hanya diberi jajan sedikit sekali, jauuuuh dari Standar Jajan Anak Sekolah (SJAS) kala itu :D. Terkadang saya nelangsa, tapi entah kenapa saya terbiasa.

Dan di masa SD itu, saya dipaksa tidak ikut-ikutan Trend Anak Sekolah Dasar (TASD). Kala tahun 90-an, ada koleksi binder, koleksi Hello Kitty, koleksi Winnie The Pooh, Barbie, Lion King, sepatu roda. Daaaaan sebagainya. Saya selalu punya sebagian barang itu jauh setelah kawan-kawan saya meninggalkannya. Akibatnya saya jadi telat ikut trend. Tapi bagi saya yang SD kala itu, aaaah yang penting ngerasain punya :D

Dan itu berlaku saat sekolah lanjutan saya. Jalan kaki dari rumah ke sekolah pulang pergi. Naik kelas sedikit saya naik sepeda. Berjarak kurang lebih 2 km, lumayan olah raga. Tapi entah kenapa, saya terbiasa.

Saya bahkan bukan anak yang punya kesempatan memiliki guru les baik privat ataupun bimbel. Karena saya dipaksa belajar sendiri lewat bertanya langsung ke guru, atau diskusi dengan kawan-kawan yang lebih pintar. Saya hanya ikut bimbel (karena diwajibkan) saat kelas tiga. Baik SMP maupun SMA. Dan sumpaaah, saat nama saya terdaftar sebagai murid bimbel, saya BANGGA. Karena akhirnya setelah belajar sendiri saya bisa punya guru Bimbel. Sederhana.

Sewaktu kuliah, ayah dan umi tidak menghendaki saya keluar Kota Bogor. Meski berat hati, saya terima dan saya terbiasa. Saya berusaha menikmati setiap pilihan orang tua, hasil diskusi setengah memaksa kepada saya :D

Ketika menikah pula, pernikahan saya super sederhana bagi pernikahan di era 2000-an. Pun di undangan bukan tertulis resepsi, tetapi Tasyakuran. Undangan hanya 300 orang termasuk keluarga besar. Makanan alhdmulillah berlebih, tamu pulang perut kenyang. Tidak ada organ tunggal, tidak ada band dan bukanlah pula di gedung bersewa mahal. Karena memang sejujurnya saya tidak terbiasa dengan pesta apalagi dengan seremonial panjang. Seperti kata ayah umi saya, yang inti-inti saja :)

Mungkin sedikit lukisan jiwa yang bisa saya lihat di diri saya adalah simpel. Saya terbiasa mendengar ocehan orang, tapi terbiasa pula untuk mengabaikan. Meski ada secuil kecewa atas penilaian sembarang, tapi lagi-lagi saya terbiasa untuk tidak menanggapi. Saya terlatih untuk itu. Sejak SD, saat trend koleksi-koleksi itu looooh :D

Ada pembiasaan dalam mengajarkan kesederhanaan memang. Meski kadang tarik ulur dengan nafsu juga sih. Tapi, saya kembali harus mengingatkan diri sendiri untuk menjadi orang yang sederhana.

Membiasakan menyederhanakan masalah, menyederhanakan pakaian, menyederhanakan dandanan, menyederhankan rumah dan perbotan, daaaan banyaaak sekali hal-hal yang harus disederhanakan. Karena di dalam ilmu hitung saja, hasil akhir dari perhitungan yang selalu diminta itu 'disederhanakan'.

Dan beruntungnya kita, umat akhir zaman, umat Baginda Rasulullah SAW. Karena punya nabi yang mengajarkan sebenar-benarnya kesederhanaan. Padahal beliau adalah kekasih yang punya alam semesta, juga 7 lapis langit dan 7 lapis bumi. Beliau adalah kekasih dari seluruh makhluk yang bernyawa. Dan semuaaa merindui syafa'atnya. Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad. Membaca kembali siroh Rasulullah SAW membuat kita ingin sejengkal saja berada di sampingnya, untuk kemudian mencontoh kesederhanaan perilakunya.

Karena sederhana itu indah yang paripurna, keindahan yang akan melukis jiwa :)



Bapak ini, lanjutan dari ayah saya sebagai guru kesederhanaan. :*




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolam Renang Puri Bintaro Club House

Mampir Ke Al Kahf Space & Kopi Manyar Bintaro

Cerita Melahirkan Ludi