Belajar dari Alm Uje, Belajar dari Siapapun Yang Telah Tiada

Assalamu'alaikum Dunia....

Jum'at ba'da subuh, saat saya masih kreyep-kreyep dari tidur karena sedang libur shalat, si mas ngasih kabar bahwa Uje meninggal dunia. Kaget. Spontan saya langsung minta mas membesarkan volume suara televisi di ruang tengah karena tidak ada televisi di kamar. Saya tidak bisa keluar kamar karena masih menyusui Najma yang kehausan di sela tidurnya.

Dan ternyata berita itu benar. Saya kaget tidak menyangka. Meski secara langsung saya tidak pernah berjumpa, saya merasa akrab dengan Uje karena memang lumayan sering melihatnya juga mendengarkan ceramah dari beliau. Apalagi ketika beliau masih menjadi pemeran utama di acara U2 (Udin & Uje) di Trans 7 beberapa tahun silam. Belum lagi ketika Ramadhan pasti wajahnya akan sering menghiasi layar televisi di rumah-rumah. Dan yang bikin saya kaget lagi adalah, sorenya. Kamis sore, saya lagi iseng buka Twitter dan Instagram Mba Pipik istrinya, saya lihat-lihat fotonya. So sweat ya mereka. Dalam hati saya berkata. Bermesra-mesra di layar instagramnya, di hati pula saya berucap doa ingin seperti mereka. Penuh kehangatn dan cinta kasih dalam naungan rumah tangga. Contoh yang baik saya bilang :)

Uje memang telah tiada. Malakul Maut menjemputnya dengan cara beliau kecelakaan saat mengendarai motornya. Pelajaran bagi kita yang hidup, mengendarai motor sangatlah harus hati-hati, begitu pula alat transportasi lainnya. Namun hakikatnya, pelajaran yang Maha Pasti adalah bahwa ajal bisa menjemput kita kapan saja, dimana saja, dalam keadaan apa saja. Insya Allah Uje wafat dalam keadaan Husnul Khatimah. Akhir kehidupan yang selalu dirindukan oleh semua manusia, muslim terutama. Termasuk dalam doa rutin yang selalu saya gaungkan di tiap tadahan tangan saya sehabis shalat. Ya Allah bihaa, Ya Allah bihaa. Ya Allah Bi Husnil Khatimah...

Ketika proses pemakaman, dimulai dari ketika hendak di shalatkan. Merinding saya dibuatnya, takjub bercampur haru. Di antarnya sang Ustadz menuju keharibaan terakhir oleh orang-orang yang menyayanginya. Penuh jalan Bundaran Hotel Indonesia. Begitu pula area pemakaman yang akan dijadikan 'tempat tidur' panjangnya. Banyak yang menangis, insya Allah bukan bermaksud mengkultus individukan beliau. Hanya saja saya yakin, hati setiap muslim hendaknya tidak boleh berbahagia apabila ada seorang juru agama yang meninggalkan dunia.

Belajar dari Uje.

Saya jadi berkaca dan merenungi diri. Apa yang sudah saya perbuat untuk minimal diri saya sendiri. Untuk keluarga kecil saya. Untuk kedua orang tua. Apalagi untuk lingkungan saya. Gusti... Masih jauh PR dan tugas saya di dunia rasanya. Mentobati dosa-dosa saja saya sering lupa. Bolehkah saya merasa 'iri' dengan orang-orang yang terlebih dahulu engkau panggil? Lantaran mereka sesungguhnya sudah 'aman' bersamaMu. Setidaknya terhindar dari fitnah dunia yang semakin gila, tuntutan hidup yang terkadang membuat kita lupa mana yang hak dan bathil, kehidupan hedonis yang membuat si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Di setiap saya mendapat kabar jika ada yang wafat apalagi masih muda, saya selalu menyelipkan doa. Semoga mereka Allah ampuni dosa-dosanya. Dan keluarganya hendaknya tak lupa mendoakannya di setiap alfatihah ba'da shalatnya.

Saya hanya ingin husnul khatimah. Cita-cita saya tidak pernah muluk. Tentu cita-cita kita. Saya pun ingin orang tidak berbahagia jika saya tiada. Jika mereka tak bersedih, setidaknya mereka tak mensyukuri ketiadaan saya. Saya tahu diri. Saya bukan siapa-siapa kecuali ibu rumah tangga, juga seorang istri biasa. Tapi saya tetap ingin husnul khatimah. Siapapun kan ya? pasti punya cita-cita yang sama.

Setelah kehidupan yang sangat melelahkan. Pergulatan bathin yang luar biasa. Persaingan yang terkadang benar-benar membuat kita lupa. Membuat kita menyikut siapa saja yang akan merugikan kita, atau membuat kita selalu curiga. Penilaian manusia yang terkadang hanya terukur oleh Harta. Memuliakan seseorang hanya karena titel saja. Melelahkan bukan? Tentu husnul khatimah adalah obat paling mujarab atas semua rasa sakit dan kecewa atas kehidupan fana ini.

Rasulullah SAW bilang.
 "Kejarlah duniamu seakan kau hidup selamanya, Kejarlah akhiratmu seakan kau akan mati esok"
Hadits shohih yang membuat kita punya self-reminder. Bahwa gol kita yang pasti adalah amal sholeh sebagai bekal kehidupan selanjutnya. Bahwa menjadi muslim boleh saja menjadi kaya raya, namun janganlah genggam sendiri kekayaannya. Guru Mursyid di sekolah saya dulu, Alm. Mama Abdullah Bin Nuh memiliki doa yang sangat terkenal di kalangan murid-muridnya,
" Ya Allah mohon simpanlah harta di kantongku, jangan simpan di hatiku
Menjadi cambuk bagi kita, sebanyak-banyak harta yang kita punya, janganlah pelit untuk membaginya. Jangan simpan harta di hati, karena hanya akan membuat hati menjadi penuh oleh keduniaan. Lantas jika hati sudah penuh dengan dunia, dimana letak Allah di sana? Na'udzubillah tsumma na'udzubillah.

Saya pernah kenal dengan orang-orang yang telah tiada di lingkungan saya. Umi Keni, ibu sahabat saya Hani'ah yang dahulu juga sahabat dari Umi saya. Sampai saat ini pun saya bersahabat dengan Hani'ah anaknya. Adalah orang yang sangat baik, banyak waktunya dikorbankan untuk orang lain setelah ia menjalankan kewajiban rumah tangganya. Bahkan umi saya bercerita. Saat masih gadis di Pesantren Umi Keni dan Umi saya juga beberapa teman lainnya rajin menemani adik-adik kecil yang sakit dan membantu adik-adik yang akan ulangan. Senyum Umi Keni tidak akan pernah saya lupa. Memiliki badan yang agak gemuk membuat Umi Keni sering 'uring-uringan' jika melihat saya ataupun Umi saya. Sebal, katanya melihat saya dan Umi tidak bisa gemuk meski sudah makan banyak. Hehehehe. Alfatihah untuk Umi Keni.

Ada Ust Idih, tetangga saya yang juga Kepala Sekolah SMP saya dahulu. Di akhir masa pensiunnya, pernah membuat warung kecil di depan rumahnya. Ditemani ayah saya yang juga pensiunan, membeli triplek, memaku, menata jajanan kecil untuk warungnya. Customernya siapa lagi kalau bukan anak-anak madrasah Umi saya di setiap sore atau setiap sanlat diadakan ketika liburan. Yang lucu, ayah saya bahkan melarang anak-anak didiknya jajan ke tempat lain kecuali jajan di warung Ust Idih. Ustad Idih juga menangis di saat saya menikah, karena beliau tidak bisa hadir langsung di tempat pernikahan karena masih sakit. Alfatihah untuk Ustad Idih.

Bahkan saya hanya pernah sekali bertemu dengan Uminya kakak ipar saya, Mba Yunin. Saat saya liburan di Situbondo lanjut Pasuruan. Mampir menginap sekitar 2 hari di rumah Umi. Meski tidak banyak cerita, saya bisa membaca ketegaran dan kesabaran dari wajahnya. Saya selalu belajar bahwa wanita mulia yang hadir dalam hidup saya pernah membawa kesulitan hidup yang hebat. Namun, ketika Allah yang menjadi satu-satunya sandaran, semua terasa ringan. Pernah saya dapat cerita dari Kaka Ipar saya, umi pernah dicemooh oleh saudaranya sendiri, ikut geram saya saat itu. Ikut kesal. Pingin ta'cabik-cabik orangnya karena gemas. Hehehe konyol sekali saya saat itu, dan Umi tetap damai dan santai saja. Terbukti dari raut wajah Umi yang selalu teduh dengan tatapan penuh kasih, meski bertahun-tahun sendiri tanpa didampingi suami, padahal Umi masih cantik. Menyetiai pasangannya menjadi PR saya, bahwa sebagai wanita tentu kita hanya ingin bersuami di dunia dan akhirat, surga maksudanya, amin. Alfatihah untuk Uminya Kaka Ipar saya.

Bapak saya, Bpk. H. Soerachman. Aaaahhh. Masih terbayang wajah Bapak sampai hari ini. Wajah penuh haru setiap melihat anak-anaknya datang dan pulang saat lebaran. Mesti nangis. Setiap menjelang subuh duduk di kursi panjang di depan kamar, memegang tasbih berdzikir. Terus. Setiap saya pulang ke rumah Situbodo, saya selalu melihat pemandangan yang sama. Bapak. Sabar dan kelembutan hatinya semoga menjadi contoh bagi kami anak-anaknya. Alfatihah untuk Bapak.

Sudah semestinya kematian menjadi nasihat terampuh atas setiap kesombongan kita, kedigdayaan kita atas kehidupan kita. Saya maksudnya. Tulisan ini tentu menjadi nasihat untuk saya sendiri. Ya, saya sendiri. Namun saya hanya ingin berbagi. Mari kita memperbaiki diri dari hari ke hari. Menjadi anak yang baik, istri yang baik dan ibu yang baik. Lalu menjadi tetangga yang baik, majikan yang baik, tante yang baik, budhe yang baik dan lainnya. Saya hanya ingin ketika saya tiada, kubur saya terang oleh bacaan Qur'an anak-anak saya, kiriman alfatihah dari siapapun yang kenal saya. Saya juga belajar untuk tidak lagi menilai orang lain seenak saya. Haduh, banyak ya PR saya. Mohon doanya, yuk semangat memperbaiki diri. Semangaaaaatttttt :))


- Allahumarzuqna Husnal Khitam -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolam Renang Puri Bintaro Club House

Mampir Ke Al Kahf Space & Kopi Manyar Bintaro

Cerita Melahirkan Ludi